Kamis, 03 Maret 2011

Kerajaan Gowa

Kerajaan Gowa adalah kerajaan besar dan sukses di Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Salah satu raja dari Kerajaan Gowa yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin . Beliau mati-matian berjuang melawan penjajah Belanda (VOC) dalam Perang Makassar dari tahun 1666 sampai dengan 1669. Asal kamu tahu saja nih, Perang Makasar adalah perang terbesar VOC Belanda yang pernah dilakukan pada abad ke-17.
Sebelum menjadi sebuah kerajaan besar, di Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau Sembilan Bendera, yaitu Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili. Inilah cikal bakal terbentuknya Kerajaan Gowa. Lama kelamaan, berbagai komunitas pun bergabung ke dalam Bate Salapang ini untuk membentuk sebuah kerajaan, yang dinamakan Kerajaan Gowa. 
Di awal abad ke-16, Kerajaan Gowa diperintah oleh seorang Karaeng (penguasa) yang ke-9, yaitu Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu, salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Karena komentar itu, Karaeng Kallonna melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan. Ia mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata.
Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abad ke-16 dan ke-17.

Minggu, 13 Februari 2011

Kuburan “Tujua” di Karebosi Makassar

Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10 dilanda keadaan kacau balau. Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang saling beradu kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.
Suatu hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Karebosi yang dulu merupakan hamparan luas nan kering lalu digenangi air.
Lantas sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Kurang lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau Raja Gowa ke-7, tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat berpijak pertama kali tujuh tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa orang membentuk tujuh gundukan itu menyerupai kuburan dengan cara tiap gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah. Cara ini sering dilakukan orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah kuburan.
Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya kembali.
Mitos yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah digambarkan di dalam Lontara dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera'. "Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah," 

Minggu, 02 Januari 2011

Sejarah Masuknya Islam di Makassar


Legenda yang turun-temurun diceritakan menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada seorang ulama yang telah membawa masuk ajaran Islam ke Sulawesi Selatan. Namanya Abdul Khatib Tunggal atau dikenal sebagai Datuk ri Bandang. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Ulama ini merupakan murid dari seorang wali di Jawa Timur, Sunan Giri.
Datuk ri Bandang tiba di pantai Makassar, di pelabuhan Tallo pada tahun 1605 dengan menumpang sebuah perahu ajaib. Setibanya di pantai, ia melakukan shalat yang membuat heran penduduk setempat yang melihatnya. Mendengar kabar tersebut, Raja Tallo Karaeng Matoaya pun berkeinginan di pagi hari buta itu ke pantai untuk menyaksikan Datuk ri Bandang mengerjakan shalat subuh. Saat baginda ingin ke pantai, di depan gerbang halaman istana, ia bertemu seorang laki-laki bersorban hijau dan berjubah putih. Orang itu menjabat tangan sang raja, setelah itu menuliskan di atas telapak tangan baginda Kalimat Syahadat.
“Perlihatkan telapak tangan baginda kepada orang pendatang yang disangka orang ajaib itu!” ucap orang yang bersorban hijau dan berjubah putih itu kepada Raja Tallo lalu menghilang.
Sang raja pun bergegas ke pantai tempat pendatang itu menambatkan perahunya. Setibanya di pantai, ia memperlihatkan tangannya kepada Datuk ri Bandang sesuai pesan orang berjubah putih itu. Setelah membaca apa yang tersurat di atas telapak tangan baginda, maka bertanyalah Datuk ri Bandang kepadanya.
“Tahukah baginda siapa gerangan yang menulis di atas telapak tangan baginda?”
“Tidak”, jawab baginda
“Baginda sudah menerima Islam langsung dari Rasulullah Muhammad SAW, karena yang menemui baginda dan menulis di atas telapak tangan baginda, niscaya adalah Nabi Muhammad SAW, yang telah menjelmakan diri di negeri baginda,” lanjut Datuk ri Bandang.
Orang-orang Makassar, lalu mengatakan peristiwa itu, Makkasaraki Nabbiya (artinya: Nabi menampakkan/menjelmakan diri). Demikianlah maka Raja Tallo dianggap telah memeluk Islam sebelum diajari oleh Datok ri Bandang.